Daán yahya/Republika

Tragedi Masjidil Haram 1979

Sekelompok bersenjata menguasai Makkah kala jamaah haji belum seluruhnya pulang pada 1979.

Oleh: Hasanul Rizqa

Terorisme kadang kala tidak mengenal lokasi dan waktu. Bahkan, tempat yang amat mulia, seperti Tanah Suci, tidak luput dari bahayanya. Ancaman terhadap kedamaian Masjidil Haram pernah terjadi pada era modern, tepatnya tahun 1979.

 

Pada musim haji 1399 H/1979 M, kekhusyukan dan keamanan jamaah di Makkah terusik oleh ulah sekelompok orang bersenjata yang dikomandoi Juhaiman bin Muhammad bin Saif al-‘Utaibi (sering ditulis: Juhayman al-Otaybi). Sosok yang mengeklaim saudaranya sebagai imam mahdi itu dibantu beberapa rekannya, seperti Muhammad Maani Ahmad al-Qahtani, Muhammad Faishal, dan Muhammad Ilyas. Aksi para teroris ini berlangsung setidaknya sejak tanggal 20 November hingga 4 Desember 1979.

 

Juhaiman berasal dari kabilah al-‘Utaibi, yang tergolong berpengaruh di kawasan Najd, Arab Saudi tengah. Ia meyakini, saudara iparnya yakni Muhammad bin Abdullah al-Qahtani, sebagai “imam mahdi.” Dalam ajaran Islam, Imam Mahdi—yang sesungguhnya—adalah sosok yang kedatangannya menandakan kiamat besar akan segera terjadi.

 

Para pengikut Juhaiman al-‘Utaibi juga begitu percaya bahwa al-Qahtani, bila tidak sebagai “imam mahdi”, merupakan sosok pembaru agama Islam. Klaim itu merujuk pada sebuah hadis, yakni Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT mengutus bagi umat ini pada setiap pengujung 100 tahun ada seorang yang memperbarui agamanya” (HR Abu Dawud). Aksi yang dijalankan al-‘Utaibi memang bertepatan dengan hari-hari terakhir tahun 1399 H. Alhasil, mereka membuat seolah-olah al-Qahtani adalah “mujadid yang dinantikan” untuk era 1400 H.

 

Juhaiman lahir di al-Sajir, Provinsi Qasim, pada tanggal 16 September 1936. Ia merupakan cucu dari Sultan bin Bajad al-‘Utaibi, sosok yang kerap berseberangan secara politik dengan penguasa Arab Saudi. Dalam Perang Sabilla, yang pecah pada 1929 M, kakeknya itu bergabung dengan kubu pemberontak untuk melawan pasukan Saudi. Pertempuran itu dimenangkan pihak Kerajaan.

 

Sesungguhnya, kalangan elite Dinasti Saud tidaklah asing dengan orang-orang dari Suku al-‘Utaibi. Pada masa-masa awal terbentuknya Kerajaan Arab Saudi, dinasti tersebut mendukung dan mempersiapkan kabilah al-‘Utaibi sebagai bakal pasukan khusus. Mereka sedianya akan bertugas untuk mengawal kerajaan yang baru saja tumbuh kala itu.

 

Namun, belakangan tokoh-tokoh Bani al-‘Utaibi mengkhianati Dinasti Saud. Sebab, mereka tidak suka dengan kenyataan bahwa Arab Saudi semakin menerima nilai-nilai modernitas yang dipandangnya sebagai “identitas Barat.” Sejak menjadi sebuah negara kaya minyak (petrodollar), Kerajaan memang kian membuka hubungan dengan negara-negara Eropa dan Amerika.

 

Sebagai bagian dari Bani al-‘Utaibi, Juhaiman terdoktrin untuk membangga-banggakan kabilahnya dan sekaligus menaruh dendam pada Saudi. Kisah-kisah yang sering didengarnya dari para tetua mengenai Perang Sabilla, misalnya, dianggap sebagai kebanggaan. Ia pun meyakini bahwa pemerintah Saudi telah mengkhianati ajaran Islam yang murni—versi mereka—karena telah bergandengan tangan dengan Barat.

Juhaiman al-‘Utaibi | dok wikipedia

Juhaiman al-‘Utaibi saat berusia 19 tahun bergabung dengan kesatuan tentara nasional Arab Saudi. Di luar dinas ketentaraan, dirinya mengikuti kajian-kajian keagamaan yang diisi Syekh Abdul Aziz bin Baz. Pada akhirnya, perhatiannya pada ilmu-ilmu agama lebih besar daripada dunia militer.

 

Pada 1955, Juhaiman memutuskan untuk kembali menjadi sipil. Kemudian, ia mendaftar di Universitas Islam Madinah dengan mengambil jurusan ilmu agama (ushul ad-din). Sebagai seorang mahasiswa, pemuda ini memiliki banyak kawan dan disukai para guru karena kepribadiannya yang mudah bergaul dan menyenangkan.

 

Sementara itu, pada medio 1960-an situasi politik di dunia Arab kian berguncang. Di Mesir, presiden Gamal Abdul Nasser memberangus kelompok Ikhwanul Muslimin (IM). Terlebih lagi, sesudah sejumlah aktivis gerakan itu disebut-sebut hendak merencanakan pembunuhan terhadap dirinya.

 

Pada 1965, pemerintah Mesir menangkap sejumlah tokoh IM, termasuk Sayyid Qutb dan saudaranya, Muhammad Qutb. Yang pertama itu dihukum mati, sedangkan yang lain terbebas dari eksekusi. Namun, Muhammad Qutb kemudian berhasil kabur ke luar negeri dan mendapatkan suaka dari Arab Saudi.

 

Waktu itu, hubungan antara Saudi dan Mesir merenggang. Raja Faisal pun menyambut baik kedatangan tokoh-tokoh intelektual yang berseberangan dengan Nasser. Muhammad Qutb lalu dipersilakan untuk bekerja sebagai pengajar di Universitas Jeddah (kini King Abdul Aziz University)—sumber lain menyebut Universitas Umm al-Qura Makkah.

 

Sejak saat itu, kian banyak tokoh-tokoh atau para simpatisan IM yang belajar di kampus-kampus Arab Saudi. Di Universitas Islam Madinah, Juhaiman al-‘Utaibi berinteraksi dengan beberapa pendukung IM. Mereka lalu menyebarkan ideologi dan pemikirannya sehingga Juhaiman terpengaruh. Bahkan, ia ikut pada kesimpulan bahwa Nasser adalah seorang pemimpin yang “murtad” karena menolak penerapan syariat Islam di Mesir dan mendukung nasionalisme—yang dipandang sebagai produk Barat.

 

Walaupun Saudi dan Mesir secara politik berbeda, kedua negara Arab ini sama-sama membuka diri pada Barat. Terlebih lagi bagi Kerajaan, yang kian bergantung pada tambang-tambang minyak bumi. Penambangan “emas hitam” tidak bisa dilakukan tanpa bekerja sama dengan pihak-pihak dari Eropa maupun Amerika. Alhasil, modernitas kian memasuki negeri jazirah ini.

 

Mulai era 1970-an, publik Arab Saudi kian mengenal produk-produk modern Barat. Sebagai contoh, televisi yang semakin digemari warga Kerajaan di rumah-rumah mereka. Siaran TV acap kali menayangkan unsur-unsur khas dunia modern (Barat), semisal pembawa berita perempuan.

 

Menyaksikan itu semua, Juhaiman al-‘Utaibi yang telah terpengaruh pemikiran para simpatisan IM tidak bisa menerimanya. Menurut dia, negerinya telah gegabah karena terbuka pada nilai-nilai modern (Barat) yang dipandang bertentangan dengan hukum Islam. Ia pun menyamakan rezim Nasser dengan pemerintah Saudi. Maka, orang-orang Mesir (baca: IM) mampu melawan Nasser, mengapa rakyat Saudi tidak bisa, demi tegaknya syariat?

Situasi kondusif berubah drastis pada 20 November 1979 atau bertepatan dengan 1 Muharram 1400 H.

Jalan menyusun rencana

 

Di Madinah, Juhaiman al-‘Utaibi bergabung dengan kelompok al-Jama’ah as-Salafiyah al-Muhtasiba yang didirikan pada pertengahan 1960-an oleh sejumlah murid Syekh al-Albani. Pada mulanya, Juhaiman termasuk taat pada pemuka gerakan tersebut. Ia ikut menggalang dana untuk kelangsungan organisasi ini, mengikuti jejak Syekh Abdul Aziz bin Baz.

 

Selama di Kota Nabi, Juhaiman al-‘Utaibi tinggal di sebuah tempat tinggal sederhana yang cukup dekat dengan Masjid Nabawi. Beberapa tahun menetap di sana, ia memiliki sejumlah pengikut setia, terutama dari mereka yang berusia lebih muda. Para simpatisannya itu mengikuti laku hidupnya yang berusaha menjalani rutinitas “sebagaimana petunjuk Alquran dan Sunnah.” Nash-nash sering kali dibaca secara harfiah untuk membenarkan kesehariannya.

 

Juhaiman menyebut para pengikutnya sebagai penghuni “rumah untuk para kawan” (Bait al-Ikhwan). Kemudian, pada 1977 Syekh Ibnu Baz bertolak ke Riyadh—ibu kota Saudi. Perlahan namun pasti, Juhaiman sejak saat itu menjadi pemimpin de facto di al-Jama’ah as-Salafiyah al-Muhtasiba, khususnya dalam hal merekrut pemuda-pemuda. Seiring dengan meningkatnya pengaruh dirinya, ia pun mulai membangun kekuatan di internal organisasi tersebut.

 

Maka, terpecahlah al-Jama’ah as-Salafiyah al-Muhtasiba menjadi dua kubu, yakni kaum tua dan kaum muda yang dipimpin Juhaiman. Dalam suatu kesempatan, Juhaiman menuding bahwa golongan tua telah berkhianat pada “Islam yang sesungguhnya” karena mereka dinilainya sudah menjual diri pada penguasa Saudi.

dok wikipedia

Dari Madinah, Juhaiman yang telah memiliki gerakan de facto sendiri—bernama al-Ikhwan—lalu bertolak ke Riyadh. Pada 1978, ia dan sekira 100 orang simpatisan ditangkap aparat keamanan Saudi usai berdemonstrasi. Namun, mereka semua lalu dibebaskan setelah pemerintah setempat mendengarkan pertimbangan Syekh Ibnu Baz, yang mengunjunginya di penjara.

 

Saat berdiskusi, Syekh Ibnu Baz bertanya kepada (mantan) pengikutnya itu tentang alasannya menentang pemerintah. Juhaiman menjawab, pemerintah Saudi dinilainya telah berkhianat pada rakyat karena melakukan penyimpangan-penyimpangan dari syariat. Dinasihati beberapa kali, tetap saja pemuka al-Ikhwan ini bersikeras pada pandangannya.

 

Bagaimanapun, Syekh Ibnu Baz tidak ingin (mantan) muridnya itu terkekang dalam penjara. Harapannya, di alam bebas ia dapat kembali pada jalan berislam yang moderat. Maka, sang syekh meminta pemerintah agar mengeluarkan tahanan itu dari dalam penjara dengan pertimbangan Juhaiman “tidak berbahaya.”

 

Sementara itu, Juhaiman tidak mengubah pendiriannya begitu keluar dari penjara. Ia menikah dengan saudara perempuan Muhammad bin Abdullah al-Qahtani. Kemudian, dirinya menyatakan bahwa saudara iparnya itu sebagai “imam mahdi” yang ditunggu-tunggu kedatangannya untuk mengembalikan umat Islam kepada jalan yang lurus. Sembari terus meningkatkan kemampuan para pengikutnya dalam menggunakan persenjataan, ia pun menyusun rencana untuk menguasa Makkah al-Mukarramah sekalipun dengan cara paksaan dan kekerasan.

dok wikipedia

Juhaiman lancarkan aksi

 

Pada Februari 1979, takhta kerajaan yang berhaluan sekuler tumbang di Iran. Revolusi yang dipimpin Khomeini berhasil mengukuhkan sistem baru di sana yang disebut negara Islam. Imam yang bergelar ayatullah (‘cahaya Tuhan’) itu menjungkalkan kekuasaan Shah yang dipandangnya sebagai kaki tangan Barat.

 

Revolusi Iran 1979 menjadi inspirasi gerakan-gerakan anti-Barat di dunia Arab. Bagi Juhaiman al-‘Utaibi dan kelompoknya, kemampuan Khomeini untuk menggulingkan kekuasaan pro-Barat kian menyemangatinya untuk melakukan hal yang sama di Arab Saudi. Dan, ia memilih musim haji pada tahun itu sebagai momennya beraksi.

 

Pada Oktober 1979, penyelenggaraan haji di Tanah Suci diikuti hampir satu juta orang jamaah. Mereka tentunya berasal dari banyak negeri, dengan membawa niat dan harapan untuk bisa khusyuk menunaikan rukun Islam kelima. Hingga awal November tahun itu, semua seperti berlangsung aman dan normal di sana.

 

Namun, situasi kondusif berubah drastis pada 20 November 1979 atau bertepatan dengan 1 Muharram 1400 H. Saat itu, Syekh Muhammad bin Subail sedang memimpin shalat subuh berjamaah di depan Ka’bah. Di belakangnya, terdapat Juhaiman al-‘Utaibi dan pendukungnya yang berjumlah sekira 200 orang. Mereka pura-pura ikut shalat, tetapi sesungguhnya sedang menyusup di antara jamaah Masjidil Haram.

 

Baru saja selesai mengimami shalat, tiba-tiba Syekh Ibnu Subail dibekap dari belakang oleh seorang pendukung Juhaiman al-‘Utaibi. Tidak cukup dengan menyandera sang imam, beberapa dari gerombolan ini merebut mikrofon Masjidil Haram. Seketika, orang-orang Juhaiman yang tadi menyamar sebagai jamaah mengeluarkan senjata api dan menembaki para penjaga yang saat itu hanya dibekali pentungan.

 

Keributan di sekitar Ka’bah kian menjadi-jadi. Sebab, para teroris itu menutup semua pintu sehingga banyak orang tidak bisa keluar dari Masjidil Haram. Mereka bahkan menyandera sejumlah jamaah. Seorang dari gerombolan ini kemudian membacakan teks pidato yang sudah dipersiapkan sebelumnya. “Kami menyerukan bahwa hari ini Imam Mahdi telah datang! Ia akan memerintah dengan keadilan di bumi setelah dipenuhi ketidakadilan dan penindasan!” serunya.

 

Sosok “imam mahdi” yang dimaksud ialah Muhammad bin Abdullah al-Qahtani. Juhaiman al-‘Utaibi yang lalu mengambil mikrofon terus melanjutkan orasi, tetapi dengan diselingi arahannya untuk “pasukan” al-Ikhwan ini. Ia memerintahkan para milisinya agar menembaki siapapun yang menolak instruksi mereka atau mencoba kabur.

dok wikipedia

Aparat keamanan maupun militer Arab Saudi tidak bisa langsung menguasai kondisi. Sebab, Juhaiman dan kelompok terorisnya tidak hanya mengendalikan tiap pintu Masjidil Haram, tetapi juga menyandera jamaah yang masih berada di dalam baitullah tersebut. Sementara itu, ketika peristiwa menegangkan ini terjadi, raja Saudi yang terkena flu sedang beristirahat di istana Riyadh. Adapun pangeran Fahd sedang berada di Tunisia, memenuhi undangan presiden Amerika Serikat (AS) Jimmy Carter.

 

Hampir dua pekan lamanya Masjidil Haram dikuasai kelompok ekstrem ini. Rupanya, Juhaiman dan gerombolan telah dengan matang mempersiapkan aksinya ini. Mereka membawa sejumlah logistik dan persenjataan yang mencukupi berhari-hari.

 

Semula, aparat militer Arab Saudi saat mengepung Masjidil Haram sama sekali tidak berani melakukan serangan. Sebabnya amat sangat jelas. Baitullah adalah tanah suci yang di sana tidak boleh menumpahkan darah—jangankan manusia, hewan-hewan semisal burung pun tidak boleh dibunuh di dalamnya. Selama beberapa hari, kebuntuan terjadi.

 

Pada akhirnya, Dewan Ulama Arab Saudi mengeluarkan fatwa yang membolehkan pihak berwajib untuk membunuh “agresor Masjidil Haram” ini. Sesudah terbitnya maklumat alim ulama ini, segera militer Saudi menjalankan tindakan yang terukur. Maka, baku tembak terjadi antara kedua belah pihak di kompleks Masjidil Haram. Angkatan bersenjata Kerajaan turut didukung militer Prancis, terutama dalam aspek senjata gas bius.

 

Memasuki awal Desember 1979, kelompok teroris makin terdesak. Muhammad al-Qahtani tertembak dan tewas. Hal itulah yang membuat sangsi para pengikut Juhaiman yang sebelumnya percaya bahwa dirinya adalah “imam mahdi.”

top